Minggu, 19 Januari 2020

Meneropong Masa Depan Papua & Papua Barat Lewat Giat Literasi

Oleh : Lalu Arul Keberhasilan bangsa yang ada di dunia ini tidak lain dan tidak bukan karena kesadaran literasinya yang high. Ia menyadari bahwa dengan meningkatkan budaya literasi, maka semakin cerdas para agent (masyarakat) yang akan menjadi pelaku perubahan bagi bangsanya. Masih ingat, slogan yang mengatakan “membaca dapat membuka jendela dunia”. Melalui literasi, bangsa tersebut yakin dapat membaca kekayaan dunia dan melihat celah kebermanfaatannya. Sehingga, wajar negara-negara maju seperti Finlandia, Amerika, Korea, China, dan Jepang mampu menguasai dunia. Bangsa Indonesia sebenarnya mampu melakukan seperti yang dilakukan negara-negara maju tersebut, hanya saja butuh waktu, butuh proses yang panjang, dikarenakan ini menyangkut kebudayaan yang sudah menjadi kebiasaan yang mendarah daging di bangsa ini. Proses mengakrabkan anak dengan buku menjadi sebuah tantangan yang berat bagi para aktivis literasi. Pernahkah timbul rasa iri saat sedang berada di sebuah Bandara, kemudian seketika melihat para bule menenteng sebuah buku, entah itu buku apa, yang jelas sebuah bacaan yang bisa mengisi waktu saat menunggu keberangkatan pesawat. Pernahkah terbersit dalam benak, bagaimana cara menumbuhkan minat baca, menulis, dan berhitung pada generasi bangsa ini? Meskipun ini terlihat sederhana, tetapi memiliki dampak yang begitu besar bagi perubahan bangsa. Bayangkan kalau rata-rata masyarakat Indonesia yang usia produktif memiliki pola pikir tentang bagaimana memajukan bangsa ini melalui literasi. Tentu akan menjadi hal yang luar biasa. Jika satu di antara jutaan ribu penduduk Indonesia sedikit saja yang mau meluangkan waktunya untuk berpikir cara membuat generasi bangsa ini bisa menjadi pionir, maka sepuluh atau belasan tahun ke depan akan dirasakan kedahsyatan hasil perenungan tersebut. Hal yang demikian bukan hanya sebatas imajinasi, melainkan sebuah ruang sekaligus jalan untuk melangkah menuju cita-cita kemerdekaan. Tidak mengapa bangsa Indonesia saat ini masih merangkak, yang penting sepuluh tahun ke depan akan berlari bersama-sama untuk menggapai finis kesuksesan dengan negara-nergara maju. Oleh karenanya, langkah-langkah positif yang dilakukan oleh para aktivis dan pegiat literasi ini harus disertai dukukungan dan apresiasi oleh semua kalangan. Karena apa yang mereka lakukan merupakan sebuah kegiatan luhur dan sakral dibandingkan hanya ribut dan cari muka lewat media sosial. Keterlibatan dan kebermanfaatan mereka dalam mencerdaskan kehidupan bangsa harus dan mutlak memiliki dukungan baik secara moril lebih-lebih materil. Sudah menjadi rahasia umum, pada tahun 2012 lalu, UNESCO pernah merilis hasil survei mengenai literasi yang ada di dunia, hasilnya Indonesia menempati peringkat yang dapat dikatakan sangat rendah. Keadaan tersebut membuat masyarakat Indonesia sedikit merasa rapuh, meskipun pada kenyataannya bangsa Indonesia tidak begitu rendah dalam hal literasi di mata dunia. Kalau memang bangsa ini dianggap memiliki budaya literasi yang rendah tidak akan tercipta kitab Negarakertagama yang nama aslinya Desawarnana yang ditulis oleh Mpu Prapanca. Tidak akan kita kenal Lontar Monyeh karya Jero Mihram yang ada di Lombok Nusa Tenggara Barat, Babat Tanah Jawa, dan lain sebagainya. Akan tetapi, barometer dipakai oleh UNESCO saat ini adalah barometer yang sifatnya mengikuti perkembangan zaman. Sehingga, membenarkan budaya literasi yang ada di Indonesia sangat rendah dan bisa menjadi pemicu keterhambatan kemajuan bangsa. Tentu ada banyak sebab, salah satunya masyarakat Indonesia masih memiliki kecintaan atau kebiasaan menonton TV lebih besar dari pada membaca, menulis, dan berkarya (berliterasi). Padahal, di era digital saat ini, pengaksesan bahan bacaan sungguh sangat mudah. Masyarakat dapat membaca segala jenis literatur yang diinginkan dengan gampang tanpa harus pergi ke toko buku. Maka, tidak ada lagi alasan untuk tidak mau membaca. Tinggal bagaimana masyarakat Indonesia yang tergolong usia produktif mau mendorong, membimbing sekaligus menciptakan suasana literasi di lingkungan anak-anak supaya tercipta budaya literasi yang diinginkan. Di sisi lain, menurunnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan efek dari kurangnya minat literasi masyarakat. Sebut saja Papua dan Papua Barat yang memiliki IPM terendah skala Nasional. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi para pegiat dan aktivis literasi yang ada di Indonesia Timur (Papua dan Papua Barat). Karena mengubah budaya jauh lebih sulit daripada menciptakan budaya itu sendiri. Apalagi masyarakat atau generasi bangsa yang ada di Papua dan Papua Barat cenderung memiliki budaya yang terkesan konsumtif, tentu ini akan menjadi tugas besar bagi para aktivis literasi untuk “bagaimana menanamkan kerinduan membaca, menulis, dan berkarya kepada anak-anak selayaknya ia mencintai dan merindukan berenang bebas di laut dan berburu di hutan”. Kehadiran komunitas-komunitas literasi di Papua dan Papua Barat semakin meyakinkan bahwa daerah ini 4-6 tahun ke depan akan menjadi daerah yang memiliki SDM yang unggul dan kreatif. Karena para aktivis literasi ini menanamkan kerinduan berliterasi secara masif dan semangat tinggi, yang nantinya akan mengantarkan generasi muda Papua dan Papua Barat ke pintu budaya yang produktif. Keberadaan pendidikan formal maupun non formal memiliki andil yang sangat besar dalam mengubah wajah suatu daerah. Cara mengubah SDM suatu daerah ialah lewat pendidikan. Dalam hal ini pendidikan non formal juga tidak boleh dipandang sebelah mata, mengingat kondisi geografis dan sosial di Papua dan Papua Barat yang menjadikan anak-anak cinta dengan alamnya. Di beberapa daerah (distrik) yang terdapat di Papua Barat masih banyak anak-anak yang putus sekolah atau malas masuk sekolah, tentu dengan alasan-alasan yang terkadang membuat orang yang mendengarnya akan menaruh rasa iba. Sehingga, tepat inisiatif yang dilakukan oleh komunitas literasi untuk membuka ruang-ruang belajar yang fair bagi mereka. Kehadiran komunitas literasi yang ada di Papua Barat, sebut saja Noken Pustaka, KSM Manokwari, Sanggar Pesisir, Giat Literasi Sorong Raya, dan masih ada lagi komunitas-komunitas yang memiliki semangat dan tujuan yang sama. Banyak hal yang dapat diciptakan oleh para aktivis dan pegiat literasi itu sendiri. Mulai dari pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) yang dapat digunakan sebagai penarik minat anak-anak (pendidikan berbasis budaya lokal), pengadaan buku bacaan, menciptakan Honai-honai Baca yang mudah diakses oleh anak-anak sebagai tujuan kegiatan literasi. Dampaknya, gaung komunitas-komunitas tersebut akan cepat tercium dan menarik perhatian para donatur-donatur yang mempunyai rasa kepedulian yang sama terhadap generasi pelososk negeri. Sekaligus membuktikan bahwa kesadaran masyarakat mengenai budaya literasi yang menjadi tonggak kemajuan bangsa. Antusiasme tersebut disambut baik oleh anak-anak generasi bangsa yang pada prinsipnya mereka ingin pintar hanya saja terkendala media, bimbingan dan motivasi. Akhir kata, keberadaan para aktivis lietrasi ini dapat menjadi angin segar bagi orang tua yang tidak mau melihat anak-anaknya menjadi bodoh dan terbelakang. “Kitong kalau mau jadi tuan di tanah sendiri, kitong harus pintar”. Selain pintar berburu di hutan dan mencari ikan di laut, kepandaian bisa didapat lewat belajar di bangku sekolah formal maupun non formal. Daftar pustaka : www.dipapua.org

1 komentar:

  1. How to Play Baccarat in the USA | Online Casinos - Worrione
    A lot of online casinos have this gambling game called 라이트닝 바카라 사이트 baccarat. In this version of the game, the player bets on the dealer's side. The player bet

    BalasHapus

Meneropong Masa Depan Papua & Papua Barat Lewat Giat Literasi

Oleh : Lalu Arul Keberhasilan bangsa yang ada di dunia ini tidak lain dan tidak bukan karena kesadaran literasinya yang high. Ia menyadari ...